Memperkuat Narasi Transisi Energi

Oleh, Taufan Hunneman*

Pertemuan Puncak Perubahan Iklim atau COP 26 di Glasgow (Skotlandia) telah berakhir, dengan sejumlah catatan. Salah satu pesan penting adalah, terkesan ada kemajuan dalam menahan laju pemanasan global, namun masih belum cukup kuat. Presiden COP 26 Alok Sharma, dalam pidato penutupannya sempat meminta maaf atas kemajuan yang lambat dalam memenuhi target Kesepakatan Paris 2015. Pada akhirnya melanjutkan transisi energi adalah pilihan paling rasional dalam mencapai target menjaga kenaikan suhu maksimum 1,5 derajat celsius, untuk menghindari dampak buruk pemanasan global, mengingat taruhannya adalah nasib generasi mendatang.

Hampir semua negara telah melakukan transisi energi, sebab mustahil mengandalkan energi fosil terus-menerus di masa mendatang. Selain keterbatasan sumber daya alam, kebijakan transisi energi juga dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Kebijakan transisi energi adalah pesan dari Kesepakatan Paris 2015 dan COP 26 Glasgow baru-baru ini, mempercepat upaya simultan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), dengan menghasilkan energi hijau berbasis potensi sumber daya terbarukan (renewable energy).

Transisi energi adalah keniscayaan, bagian yang tak terpisahkan dari rencana kemandirian energi Indonesia. Dengan semakin banyaknya opsi penyediaan energi primer, khususnya energi baru terbarukan (EBT) dengan harga semakin kompetitif , kebijakan yang tepat dapat menghasilkan bauran energi lebih optimal. Di saat bersamaan, peran migas sebagai salah satu sumber energi utama dalam negeri, tetap penting. Merujuk sebuah kajian, kejenuhan pertumbuhan permintaan migas belum akan terjadi sampai tahun 2030, bahkan sampai tahun 2040.

Melanjutkan transisi energi
Selama ini penggunaan energi fosil sangat mendominasi penggunaan energi di Tanah Air. Nyaris seluruh sektor kehidupan, seperti transportasi, rumah tangga, industri, perdagangan, pertanian, dan seterusnya, menggunakan bahan bakar fosil. Kebutuhan BBM terus meningkat, itu sebabnya Indonesia sudah menjadi negara net importer, karena kebutuhan domestik jauh lebih besar dibanding produksi dalam negeri

Berbagai sumber energi baru terbarukan (EBT) sangat melimpah di negeri kita, seperti panas bumi, air, surya, angin, dan biomassa, merupakan peluang bagi pengembangan energi alternatif untuk menggantikan energi fosil yang semakin terbatas persediannya. Itu sebabnya dibutuhkan kebijakan transisi energi, sebagai peta jalan perpindahan penggunaan EBT secara lebih terencana dan terukur.

Penurunan konsumsi energi berbasis fosil telah menjadi fenomena global, yang bisa juga menjelaskan kondisi mutakhir masyarakat kita. Berdasar perubahan perilaku masyarakat di masa pandemi, ketika sanggup menggunakan seminimal mungkin BBM fosil, kita cukup optimis transisi energi secara gradual akan berjalan. Transisi energi di negeri kita, dari energi fosil menuju energi hijau atau rendah karbon, sejatinya bukanlah sebuah kemewahan.

Indonesia telah menyusun sejumlah skenario dekarbonisasi dalam upaya mencapai pembangunan rendah karbon (net zero emissions). Memang sebuah program ambisius, sebagai wujud komitmen terhadap Kesepakatan Paris 2015, itu sebabnya upaya ini harus diiringi sinergi atau konektivitas antara sejumlah sektor dan kelembagaan.

Perubahan iklim adalah ancaman bencana riil di kemudian hari, berdasarkan penelitian para ilmuwan terkemuka tingkat global. Merujuk temuan tim peneliti Panel Antarpemerintah bagi Perubahan Iklim (IPCC), yang dirilis pertengahan Agustus lalu, koordinator tim peneliti IPCC Valerie Masson-Delmotte mengatakan, suhu global diperkirakan akan naik mencapai lebih dari 1,5 derajat celsius pada 2040, sehingga dampak perubahan iklim, salah satunya pemanasan global, akan semakin cepat terjadi.

Sinyal IPCC memberi konfirmasi atas pemahaman kita selama ini, bahwa laju pemanasan global harus dihentikan. Salah satu strateginya adalah keberanian melakukan transisi energi , yakni menurunkan dalam skala signifikan penggunaan bahan bakar fosil, untuk segera bertahap digantikan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Dari segi pengetahuan dan pemahaman terkait arti penting transisi energi, sebenarnya sudah memadai dan tersebar luas, termasuk di kalangan pemerintah dan penentu kebijakan, sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah aksi konkret.

Peran Pertamina
Sebagai pilar utama produksi migas, Pertamina berada dalam posisi strategis dalam transisi energi. Dalam skenario energi di Indonesia, merujuk Peraturan Pemerintah No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, terbaca bauran energi primer pada 2025 terdiri dari batubara (30 persen), energi terbarukan (23 persen), minyak bumi (25 persen) , dan gas bumi (22 persen). Sementara data yang diumumkan pemerintah, capaian energi baru dan terbarukan (EBT) sampai awal 2021 baru pada kisaran 12 persen. Artinya pemanfaatan energi fosil masih dominan.

Penggunaan gas bumi akan didorong naik dari 22 persen (tahun 2025), menjadi 24 persen pada tahun 2050. Peningkatan ini sebagai penanda, Indonesia belum bisa sepenuhnya lepas dari energi fosil hingga beberapa tahun ke depan, mengingat energi fosil masih berperan strategis dan penting dalam bauran energi nasional. Namun begitu program transisi energi tepat perlu dilanjutkan, sebagai bentuk komitmen atas Kesepakatan Paris 2015, untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Baik migas maupun EBT, perlu sama-sama dikembangkan secara paralel. Migas masih perlu ditingkatkan produksinya, karena permintaannya masih ada. Program pembangunan kilang baru di Indonesia juga masih prospektif, sesuai arahan Presiden Jokowi baru-baru ini. Itu artinya hulu migas di bawah Pertamina masih dalam posisi strategis, terlebih dengan target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030. Dalam kebijakan energi nasional pun, peran migas pada 2050 masih di atas 50 persen.

Dalam menurunkan emisi karbon, penggunaan energi fosil bukan berarti berada pada titik nol. Energi fosil tetap ada, tetapi dibarengi dengan penggunaan teknologi pengurangan karbon, sembari menciptakan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif. Berdasar kenyataan masih tingginya ketergantungan pada energi fosil, maka dibutuhkan kebijakan energi yang proporsional. Diperlukan keseimbangan dalam mengelola energi dalam negeri.

Salah satu peran Pertamina dalam transisi energi bisa dilihat dalam upaya pengembangan DME (dimethyl ether). Dalam rapat terbatas percepatan nilai tambah batubara di Istana Bogor 23 Oktober 2020, Presiden Jokowi memberi arahan, agar proses hilirisasi batubara menjadi DME di dalam negeri dipercepat, sebagai upaya untuk mengurangi impor LPG. Dalam pandangan Presiden Jokowi, hilirisasi adalah salah satu cara meningkatkan nilai tambah batubara, karena sebelumnya selalu diekspor dalam bentuk bahan mentah (raw material).

Mayoritas batubara Indonesia adalah jenis kalori sedang dan rendah, yang jumlahnya mencapai 90 persen, jenis yang paling pas untuk diproses sebagai dimethyl ether (DME) dan metanol. Hilirisasi batubara menjadi DME dan methanol adalah salah satu opsi, agar bisnis batubara tetap bisa dilanjutkan, dan sesuai arahan Presiden Jokowi.

Hilirisasi batubara ini biasa dikenal sebagai program gasifikasi batubara, yang sudah masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN). DME diproduksi untuk menggantikan posisi elpiji, yang 75 persen dari total konsumsi nasional masih harus impor. Sementara metanol bisa disalurkan pada industri biodiesel dan spirtus. Dengan hilirisasi ini, kadar karbon batubara bisa diturunkan secara signifikan, meskipun tidak sampai net zero emission (netral karbon)

Langkah konkret hilirisasi batubara telah dimulai oleh PT Pertamina (Persero) dalam proyek gasifikasi batubara menjadi DME. Langkah lain yang bisa diambil adalah berpartisipasi menyiapkan ekosistem kendaraan listrik. Salah satunya mengembangkan SPBU “hibrida”, yakni dalam setiap SPBU diusahakan terdapat SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik umum). Andil Pertamina dalam hilirisasi batubara dan menyiapkan ekosistem kendaraan listrik, merupakan bagian dari peta jalan menuju transisi energi. (adm/ndr)

*Pengamat Energi